Makalah
Diajukan Sebagai Syarat
Mengikuti
Latihan Kader II HMI
Cabang Medan Tahun 2018
Disusun Oleh:
Revindo Saragi
HIMPUNAN
MAHASISWA ISLAM (HMI)
CABANG MEDAN
1439 H / 2018 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillah,
segala puji hanya milik progratif Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam. Atas berkat rahmat dan hidayah
Allah penulis dapat menyelesaikan makalah ini, sebagai salah satu syarat untuk
mengikuti Latihan Kader II HMI Cabang Medan Tahun 2018. Adapun tema atau judul
dari makalah ini yaitu “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM
KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT”. Selanjutnya, shalawat dan salam bukti cinta yang
tulus marilah sama-sama kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Semoga dengan
memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau, di yaumil akhir kelak kita semua
termasuk orang-orang yang berada di barisan terdepan yang akan mendapatkan
syafa’at beliau, amin.
Kemudian, penulis
tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua
penulis, karena berkat doa dan dukungan merekalah penulis mampu duduk di bangku
perkuliahan dan berstatus sebagai seorang mahasiswa serta
berkecimpung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga saat ini. Dan
saya juga mengucapkan terimakasih kepada para presidium HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum UIN-SU serta seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum UIN-SU yang telah turut serta mendukung dan membantu saya
dalam pembuatan makalah LK II ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya, untuk menambah wawasan
ke-Islaman kita.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Medan, 12 Februari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... .... iiDAFTAR ISI.............................................................................................................. iiiBAB IPENDAHULUAN................................................................................................. .... 1
A. Latar Belakang................................................................................................. 1B. Rumusan Masalah...................................................................................... .... 2C. Tujuan Masalah................................................................................................ 3BAB IIPEMBAHASAN......................................................................................................... 4A. Pengertian Khalifah Fil Ardh........................................................................... 4B. Esensi Ajara Islam tentang Khalifah Fil Ardh................................................. 9C. Konsep Khalifah Fil Ardh dalam Konteks Sosial Masyarakat...................... 10BAB IIIPENUTUP................................................................................................................ 16DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurang lebih sekitar
3 tahun Rasulullah Muhammad Saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi di kota Makkah. Yang beliau
dakwahkan masih hanya seputar tauhid, pengenalan terhadap sang khaliq. Maka, apabila kita seorang
muslim sejati, yang pertama kita yakini ialah esensi Allah Swt. sebagai
pencipta alam semesta. Meyakini dengan sepenuh hati tanpa keraguan sedikit
pun, bahwa adanya alam semesta ini bukan karena kebetulan belaka melainkan ada yang menciptakan, yaitu Allah Swt. Inilah nilai-nilai
tauhid yang paling mendasar yang harus kita pahami. Jadi, adanya alam semesta beserta segala
yang ada di dalamnya adalah mutlak bergantung pada adanya Dia (Allah). Inilah
yang dimaksud dengan firman-Nya surat al-ihklas ayat 2.[1]
Selain penciptaan
alam semesta, Allah Swt. juga menciptakan makhluk, dan salah satu makhluk
ciptaan Allah ialah manusia. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna serta memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah
dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Penciptaan manusia itu sendiri bukanlah
suatu hal yang sia-sia belaka dan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia
dengan segala kelebihan dan kesempurnaannya, karena Allah telah memilih manusia
sebagai penerima dan pemegang amanah dari Allah (Surat Al-Ahzab: 72).[2]
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat dzhalim dan amat bodoh.”
Salah satu amanat
yang diamanahkan Allah kepada manusia ialah bahwasanya Allah memposisikan
manusia sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi). Hal ini telah
Allah terangkan kepada kita lewat firmannya dalam Q.S. Al-Baqarah: 30:
“Ingatlah
ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.
Manusia adalah
makhluk tertinggi yang pernah diciptakan Allah (Agus Mustofa, 2005; 64),
memiliki sifat-sifat ketuhanan dan mejadi khalifah Allah di muka bumi. Karena
itu menjadi tugas manusia untuk mempersaksikan sifat dan asma Allah di muka
bumi dan berakhlak dengan akhlak yang diperintahkan Allah dalam menjalankan
fungsi dan tugas kekhalifahannya di muka bumi, membawa kebenaran dari Allah,
menjadi cermin dari sifat-sifat Allah dan asma-Nya, berakhlak dengan akhlak
yang diperintahkan-Nya atau menjadi makhluk Rabbani. Inilah yang dimaksud oleh
Allah dalam memilih manusia sebagai makhluk tertinggi sekaligus menjadi
khalifah di muka bumi seperti terdapaat dalam surat Thaha ayat: 41.[3]
Nah, berdasarkan
latar belakang yang penulis jelaskan diatas, maka penulis mengangkat judul: “ESENSI
AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT”
sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan
Judul Makalah “Esensi Ajaran Islam tentang Khalifah Fil Ardh dalam Konteks
Sosial Masyarakat”, maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah
yang akan menjadi pembahasan dalam makalaah ini, antara lain:
a. Apa yang dimaksud dengan istilah
khalifah fil ardh?
b. Bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh?
c. Bagaimana konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat?
b. Bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh?
c. Bagaimana konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini disusun sebagai berikut:
1. Agar kita mengetahui dan memahami istilah khilafah fil ardh dalam ajaran Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh.
3. Untuk mengetahui konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat.
4. Untuk memenuhi tugas makalah peserta Intermediate Training HMI
Adapun tujuan makalah ini disusun sebagai berikut:
1. Agar kita mengetahui dan memahami istilah khilafah fil ardh dalam ajaran Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh.
3. Untuk mengetahui konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat.
4. Untuk memenuhi tugas makalah peserta Intermediate Training HMI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khalifah Fil Ardh
Sekalipun
kejadinnya lebih sempurna dari yang lain, manusia adalah makhluk Allah, sama
seperti makhluk-makhluk lainnya. Karena itu, sebagai hamba Allah manusia
dituntut untuk menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai upaya pengabdian
diri kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat
56:[4]
Artinya: “Dan
tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.
Selain sebagai
abdi Allah, manusia di ciptakan Tuhan adalah untuk menjadi khalifah di muka
bumi. Seperti yang di jelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30:[5]
Artinya:”Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan (khalifah) di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di muka bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.
Kelompok ayat
ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang
rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting
karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia; ada yang akan
bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang
membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui
manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang
tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat “Seseungguhnya Aku akan
menciptakan khalifah di dunia” demikian penyampaian Allah Swt. Penyampaian
ini bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut, para malaikat
bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini
akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman
mereka sebelum terciptanya manusia, di mana ada makhluk yang berlaku demikian,
atau bisa juga berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi
khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu
bertasbih mensyucikan Allah Swt. Pertanyaan mereka itu juga bisa lahir dari
penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah.
Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum sehingga
dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan
darah. Bisa jadi demikian dugaan malaikat sehingga muncul pertanyaan mereka.
Semua itu
adalah dugaan, namun apa pun latar belakangnya, yang pasti adalah mereka
bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencana-Nya.
Apakah, bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa terjemahan, “Engkau
akan menjadikan khalifah di bumi siapa yang akan merusak dan menumpahkan darah?”
Bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi
anak cucunya.
Rupanya mereka
menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih dan tahmid, karena itu para
malaikat melanjutkan pertanyaan mereka, Sedang kami menyucikan, yakni
menjauhkan Zat, Sifat dan perbuatan-Mu dari segala yang tidak wajar bagi-Mu, sambil
memuji-Mu atas segala nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk
mengilhami kami menyucikan dan memuji-Mu.
Anda
perhatikan mereka menyucikan terlebih dahulu, baru memuji. Penyucian mereka itu
mencakup penyucian pujian yang mereka ucapkan, jangan sampai pujian tersebut
tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Menggabungkan pujian dan penyucian dengan
mendahulukan penyucian, ditemukan banyak sekali dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Selanjutnya,
para malaikat itu menunjuk diri mereka dengan berkata, dan kami juga menyucikan, yakni
membersihkan diri kami sesuai kemampuan yang Engkau anugerahkan kepada kami,
dan itu kami lakukan demi untuk-Mu.
Mendengar
pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan
karena memang akan ada diantara yang diciptakan-Nya itu yang berbuat seperti
yang diduga malaikat. Allah menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Perlu dicatat
bahwa kata khalifah pada mulanya
berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang
sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam
arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan
manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji
manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang
menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Dalam wacana
fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khalifah. Keduanya
menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam Negara Islam.[6]
Betapapun,
ayat ini menunjukan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan
Allah Swt, makhluk yang diserahi tugas, yakni Adam As. dan anak cucunya, serta
wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini.
Jika demikian,
kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya
sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan
yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan
tugas kekhalifahan.
Dalam ayat ini
disebut tentang malaikat. Apakah malaikat?
Dalam bahasa
Arab kata mala'ikah adalah bentuk
jamak dari kata malak. Ada yang
berpendapat bahwa kata malak terambil
dari kata alaka atau ma’lakah yang berarti mengutus atau perutusan/risalah. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan untuk berbagai tugas. Ada juga yang berpendapat
bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti menyampaikan sesuatu. Malak/malaikat adalah makhluk yang
menyampaikan sesuatu dari Allah swt.
Banyak ulama
berpendapat bahwa malaikat dari segi pengertiannya dalam bahasa agama adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari
cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah,
dan sedikitpun tidak membangkang. Allah menganugerahkan kepada mereka akal
dan pemahaman, menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka
kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.[7]
Malaikat
diciptakan oleh Allah Swt. dengan berbagai kelebihan dan sudah pasti terhindar
dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah, karena memang mereka diciptakan
dengan ketaatan dan senantiasa bertasbih dan mensyucikan Allah Swt. Tetapi,
meskipun demikian bukan berarti malaikat terpilih atau dipilih oleh Allah untuk
menjadi khalifah di muka bumi. Kelebihan yang Allah berikan kepada malaikat
tidak menjadi alasan mereka layak untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Walaupun
malaikat merupakan makhluk-makhluk suci dan tidak mengenal dosa, mereka tidak
wajar menjadi khalifah karena yang bertugas menyangkut sesuatu haruslah yang
memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan tugasnya.
Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi,
paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Ini tidak diketahui
oleh malaikat, tetapi Adam as. mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para
malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka, terbuktilah kewajaran
makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.[8]
Al-Khalifah: orang yang menggantikan atau yang menggantikan kedudukan seseorang.
Disebut khalifah sebab dia menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan
melaksanakan perintah-perintah-Nya.[9]
Kekhalifahan
di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah Swt., yang antara lain
bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan
demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan
syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau
pemanfaatan potensi berpengetahuan, tugas kekhalifahan manusia akan gagal
walaupun seandainya dia tekun rukuk, sujud, dan beribadah kepada Allah Swt.
serupa dengan rukuk, sujud, dan ketaatan malaikat. Bukankah malaikat yang
sedemikian taat dinilai tak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangnya
ibadah mereka, tetapi karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang alam dan
fenomenanya? Melalui kisah ini, Allah Swt. bermaksud menegaskan bahwa bumi
tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal
ilmiah dan ilmu amaliyah.[10]
Dari penjelasan
di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran penting, diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagian ulama berkata bahwa pada pemberitahuan Allah kepada malaikat
tentang penciptaan Adam dan pengangkatannya sebagai khalifah di bumi, terdapat
pendidikan untuk segenap hamba-Nya bagaimana bermusyawarah dalam berbagai
masalah sebelum melaksanakannya.
2. Hikmah dijadikannya Adam sebagai khalifah di bumi adalah menjadi rahmat
bagi seluruh hamba-Nya –bukan untuk merendahkan Allah, sebab manusia tidak akan
mampu menyampaikan perintah dan larangan dari Allah tanpa ada perantara, tidak
juga dengan perantara malaikat. Oleh karena itu, diantara rahmat, anugerah, dan
kebaikan Allah adalah diutusnya para rasul dari golongan manusia.
3. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan bahwa perkataan malaikat, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya”, bukanlah untuk
membantah Allah, atau juga karena iri kepada Adam, namun lebih kepada
pertanyaan pemberitahuan dan eksplorasi hikmah tentang hal itu. Mereka
seakan-akan berkata “Apa hikmah diciptakannya manusia, padahal sebagian mereka
membuat kerusakan di bumi?”. Ibnu Jazzi berkata, “Malaikat tahu bahwa anak cucu
Adam membuat kerusakan di bumi, lalu diberitahukan kepada Allah mengenai keadaan
mereka. Dikatakan, dulu di bumi ada jin yang membuat kerusakan, lalu Allah
mengutus malaikat, lalu malaikat membunuh mereka, kemudian malaikat menimbang
antara manusia dengan golongan jin itu”.[11]
B.
Esensi Ajaran Islam Tentang Khalifah Fil Ardh
Sebagai
khalifah, manusia berkewajiban memelihara, melestarikan dan memakmurkan bumi.
Artinya, manusia wajib mengola dan merekayasa bumi untuk bermanfaat bagi
kemaslahatan manusia dan makhluk-makhluk alam lainnya. Manusia juga wajib
memelihara keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam.
Seiring dengan
fungsi dan tugas tersebut, Allah Swt. memberikan sebagian dari sifat-sifat-Nya
kepada manusia untuk menjadi modal dan kelengkapan dalam melaksanakan tugasnya
di bumi. Adapun sifat-sifat yang diberikan itu adalah: 1) Hayat (kehidupan), 2)
Ilmu (ilmu pengetahuan), 3) Qudrat (kekuasaan/kemampuan), 4) Iradat
(kehendak/kemauan), 5) Sama’ (pendengaran), 6) Bashar (penglihatan), dan 7)
kalam (berbicara).
Dengan
demikian bentuk aplikasi tauhid dalam kehidupan sebagai khalifah Allah di bumi
antara lain adalah:
1. Berilmu, yakni membekali diri dengan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai
syarat untuk dapat mengelola alam dengan baik, sebab Allah Swt. menciptakan
alam ini didasari dengan Ilmu-Nya.
2. Gigih, yakni memiliki kehendak dan kemauan yang kuat untuk mengelola
alam, sebab Allah Swt. menciptakan alam semesta ini didasari oleh Iradah atau
kehendak-Nya.
3. Kreatif, yakni mengisi perjalanan hidupnya dengan kreatif (karya), sebab
adanya alam ini merupakan wujud dari karya yang kreatif dari Allah.
4. Produktif, yakni karya (kreatifitas) itu harus mendatangkan hasil yang
besar, dan dapat memberikan manfaat bagi makhluk sekitar.
5. Inovatif, yakni berusaha menemukan cara dan metode yang baru dalam
melakukan pekerjaan mengelola alam ini.
Harus disadari
bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah atau penguasa di muka bumi adalah
pemberian dari Allah Swt. bukan karena manusia itu sendiri. Karena itu, manusia
dalam melaksanakan tugas ke-khalifah-annya di muka bumi tidak boleh melebihi
ketentuan Allah Swt. Pelaksanaan tugas khalifah tersebut harus berorientasi
pada upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Allah dan mempersaksikan
sifat-sifat Allah.
Dalam
mengaplikasikan tauhid sebagai khalifah, Allah Swt. memberikan tuntunan/pedoman
berupa petunjuk tehnis pelaksanaan kepada manusia, yaitu ajaran agama (wahyu
Allah) yang dibawa oleh malaikat dan disampaikan kepada rasul-rasul. Pedoman
tersebut terdapat dalam kitab-kitab Allah.
Hal ini
berarti bahwa manusia dalam menjalankan aktivitas hidupnya di muka bumi, tidak
boleh menurut kehendak sendiri tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt.
artinya harus mematuhi petunjuk-Nya.
Selanjutnya
komitmen dan kepatuhan manusia dalam melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya
tersebut, maka Allah Swt. berjanji akan meminta pertanggungjawaban manusia di
hari akhirat, untuk selanjutnya memberikan balasan berupa surga terhadap yang
patuh dan balasan neraka bagi yang tidak mematuhinya.
Maka dalam
rangka memelihara konsistensi pengamalan tauhid di atas, manusia dituntut untuk
senantiasa menyadari dan mengingat bahwa kehidupan di dunia hanya bersifat
sementara. Manusia akan mengalami mati dan apabila ajal kematian telah datang
manusia tidak dapat menundanya walau sedetik pun.[12]
C. Konsep Khalifah Fil Ardh dalam Konteks Sosial Masyarakat
Sebagaimana
yang telah penulis jelaskan di atas, bahwasanya manusia merupakan makhluk yang
paling sempurna daripada makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia diberikan akal
pikiran yang fungsinya untuk membimbing, mengarahkan, serta menuntun ia untuk
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang
salah, dan lain sebagainya. Tidak cukup hanya akal, Allah Swt. juga memberikan
petunjuk atau pedoman dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, yang
disampaikan melalui para rasul-rasul utusan-Nya, agar hidup yang ia jalani
sejalan dengan syariat Allah, sejalan dengan tujuan Allah menciptakan manusia
itu sendiri. Karena apabila manusia hanya menggunakan akalnya dalam setiap
tindakan yang ia lakukan tanpa mengikuti tuntunan wahyu Ilahi, tanpa mengikuti
petunjuk atau pedoman yang Allah tetapkan, dikhawatirkan manusia itu akan salah
menempuh jalan dan akhirnya lari atau tidak sejalan dengan tujuan manusia itu
diciptakan.
Nah, salah
satu petunjuk atau pedoman hidup yang diturunkan Allah kepada manusia yaitu
al-Qur’an dan hadits, yang disampaikan melalui Rasulullah Muhammad SAW yang
merupakan khotamul anbiya serta membawa agama yang paling tinggi di sisi Allah
Swt., yakin agama islam.
Islam
merupakan agama dakwah. Ini berarti bahwa Islam, menurut watak dan kodratnya,
mesti berkembang. Diutusnya Nabi Muhammad Saw. Sebagai utusan Allah Swt.
memberikan konfirmasi teologis bahwa beliau diperintah oleh Allah Swt. untuk
mendakwahkan dan menyebarkan Islam. Misi tersebut telah dilaksanakan dan
diselesaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan hasil yang sangat spektakuler.
Mayoritas orang Quraisy di Jazirah Arabia yang sebelumnya menganut kepercayaan
politeistis dalam waktu 23 tahun telah diubah oleh Nabi Muhammad Saw. Menjadi
masyarakat yang monoteis (tauhid).[13] Rasulullah
Saw. merupakan revolusioner agung yang mengubah peradaban jahiliyah saat itu.
Beliau seorang Rasul yang membawa tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Hal ini terlihat pada kondisi masyarakat Arab sebelum dan setelah datangnya agama
Islam.
Sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, keadaan moral penduduk Makkah sangat buruk.
Umumnya mereka senang terhadap perjudian, perzinaan, merampas harta, sering
terjadi pembunuhan, serta penindasan kepada kaum lemah. Berbeda dengan kondisi
tersebut, semenjak Rasulullah Saw. menjadi Nabi dan Rasul, tatanan kehidupan
masyarakat Makkah dan Jazirah Arab semakin membaik dan terjadi pemerataan
ekonomi dan sosial. Sebab, Rasulullah Saw. senantiasa mengajarkan bahwa semua
umat muslim adalah bersaudara yang saling melengkapi. Dan, yang membedakan
seseorang di sisi Allah Swt. hanyalah tingkat ketakwaannya.[14]
Namun walaupun
demikian, karena Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yakni agama yang
menjadi rahmat seluruh alam, tentu tidak cukup hanya berkembang di Jazirah Arab
saja, melainkan ajaran Islam harus mendunia. Oleh karena itu, Rasulullah
berusaha menyebarluaskan ajaran Islam, membumikan ajaran Islam ke berbagai
penjuru dunia melalui para sahabat yang beliau utus. Akan tetapi, mendakwahkan
Islam bukan hanya kewajiban Rasulullah dan para sahabat semata, melainkan
kewajiban bagi seluruh ummatnya hingga akhir zaman. Sebab itulah, dakwah
menjadi suatu kewajiban bagi kita umat muslim di seluruh dunia, dan
terlebih-lebih kita sebagai generasi muda umat Islam.
Tidak
berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa aktivitas dan gerakan dakwah dalam
segala cara, bentuk, dan banyak manifestasinya merupakan tulang punggung
kelangsungan hidup agama Islam. Tanpa adanya aktivitas dan gerakan dakwah,
agama Islam sudah barang tentu sulit atau bahkan tidak bisa berkembang. Itulah
sebabnya, Nabi Muhammad Saw. Menekankan, “Sampaikanlah apa saja yang berasal
dariku walaupun satu ayat sekalipun.” (HR. Bukhari).
Ini berarti
bahwa dakwah merupakan tugas penting atau suatu kewajiban fundamental yang
mesti dilaksanakan oleh setiap muslim dan muslimah sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dalam masyarakat modern yang memiliki bangunan struktur sosial
yang lebih kompleks, pola dan gerakan dakwah memerlukan organisasi yang
menerapkan prinsip-prinsip management yang modern, seperti penyusunan program,
kebijakan dan strategi dakwah, pelaksanaan program, serta evaluasi terhadap
pelaksanaan program dakwah tersebut.[15]
Lalu, apa yang harus kita dakwahkan? Yang harus kita dakwahkan di tengah-tengah
masyarakat yang kompleks adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad Saw.
Nah, dalam
kehidupan sosial masyarakat kita sebagai umat Islam, yakni umatnya Rasulullah
Saw. yang setiap kita memiliki tanggung jawab untuk membumikan atau
menyebarluaskan ajaran Islam, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, kita harus
menanamkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek sosial masyarakat. Bagaimana
caranya? Tentu dengan mendakwahkan ajaran Islam itu sendiri ke seluruh
sendi-sendi kehidupan masyarakat. Baik itu dakwah dengan lisan, dakwah dengan
sikap, dakwah dengan perbuatan dan lain sebagainya. Kita khususnya generasi
muda, harus bisa berbaur, tampil ditengah-tengah masyarakat sebagai contoh.
Tunjukkan kepada mereka bahwa inilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu.
Tunjukkan kepada mereka nilai-nilai ajaran Islam yang sangat agung.
Agama akan
bermakna bagi hidup dan kehidupan manusia jika seluruh perangkat doktrin dan
ajaran-ajarannya disosialisasikan, dimasyarakatkan dan difungsikan. Selama
ajaran-ajaran agama hanya berada dalam lembaran-lembaran kitab suci, selama
ajaran-ajaran agama hanya berada dalam dinding-dinding rumah peribadahan,
selama ajaran-ajaran agama hanya berada dalam lingkungan bangku-bangku kuliah,
selama itu pula ajaran-ajaran agama kosong, abstrak, hampa, steriil dan
terisolasi dalam kehidupan nyata masyarakat.
Oleh karena itu,
ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari lembaran-lembaran kitab suci,
ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari dinding-dinding rumah peribadahan,
ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari tembok-tembok perguruan tinggi dan
sekolah-sekolah, untuk dimasyarakatkan, disosialisasikan dan di fungsikan
secara maksimal dan optimal. Dengan begitu, arti dan makna serta fungsi agama
akan terasa keterlibatannya secara nyata dengan riak kehidupan masyarakat luas
untuk dapat dijadikan program kerja yang strategis-inovatif dalam menyelesaikan
berbagai kompleksitas masalah-masalah kemasyarakatan.
Lebih-lebih
pada era pembangunan dan usaha-usaha akselerasi modernisasi seperti sekarang
ini, agama hendaknya diperankan secara maksimal dan optimal untuk menopang suksesnya
pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Agama mesti difungsikan secara optimal
bagi pembinaan moral dan penguatan sendi-sendi mental-spiritual-keagamaan
manusia. Agama harus difungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi
peningkatan pembangunan ekonomi, social, budaya, perdaban dan bidang-bidang
kehidupan lainnya. Agama semestinya difungsikan secara riil bagi pengembangan
ilmu dan teknologi.[16]
Nah, ini sungguh merupakan tugas dan tanggung jawab kita sabagai khalifah
fil ardh, sebagai umat Islam, sebagai umat yang paling mulia (khaira
ummatin). Maka, sudah sepantasnya kita membumikan ajaran agama Islam,
ajaran yang paling tinggi, ajaran yang rahmatan lil ‘alamin dalam
konteks social masyarakat.
Memang tidak
akan semudah membalikkan telapak tangan untuk dapat mewujudkan Islam rahmatan
lil ‘alamin. Tidak mudah untuk menjadi khalifah fil ardh yang
sesungguhnya, yang sesuai dengan tuntutan syariat. Untuk itu, perlu dikuatkan
sandaran kepada Allah Swt., kuatkan iman dan ketakwaan kepada sang Ilahi.
Mempunyai iman
dan agama berpengaruh besar terhadap pembentukan pribadi. Sebanyak apapun ilmu
dan kepintaran, walaupun banyak buku dalam lemari dan dibaca setiap hari,
tidaklah akan mendorong cipta dan tidaklah akan berani menghadapi kewajiban
jika iman tidak ada. Iman adalah pokok, kepercayaan kepada Zat Yang Maha Kuasa.[17]
Selain itu, tetaplah berikhtiar semampu kita. Berusaha menjadi seorang
muslim sejati. Membuktikan bahwa Islam memang benar-benar rahmatan lil
‘alamin. Membuktikan bahwa diri ini pantas dijadikan Allah Swt. sebagai
khalifah di muka bumi.
Ikhtiar
merupakan perintah Allah Swt. yang harus dilakukan oleh seluruh manusia. Selain
bernilai ibadah di hadapan-Nya, ikhtiar juga menjadi sikap yang kita butuhkan
dalam menjalani kehidupan ini. Selain ikhtiar, sabar, ikhlas dan tawakal juga
kita butuhkan dan menjadi komponen yang tidak terpisahkan. Sebab, saat
berikhtiar, kita membutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan usaha.
Setelah ikhtiar dilaksanakan, barulah kita menyerahkan hasilnya kepada-Nya.[18]
Jadi, setiap
kita khususnya umat Islam harus menjadi contoh di tengah-tengah kehidupan
bermasyarakat. Bawalah nilai-nilai Islam yang tinggi, yang paling mulia ke
dalam kehidupan bermasyarakat. Buktikan bahwa dirimu memang layak diamanahkan
oleh Allah Swt. sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh).
Buktikan bahwa agama Islam itu memang benar-benar agama yang rahmatan lil
‘alamin. Terlebih lagi bagi kita para generasi muda, khususnya para
mahasiswa yang disebut-sebut sebagai Agent Of Change (agen perubahan).
Terlebih lagi kita sebagai kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kita
harus tahu betul apa tujuan awal didirikannya organisasi ini, sehingga kita
tahu apa yang harus kita perbuat selaku kader-kader HMI.
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawannya di
Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947. HMI dikenal sebagai organisasi
mahasiswa muslim yang independen dan tidak berafiliasi dengan organisasi
politik atau organisasi sosial keagamaan mana pun. Komposisi keanggotaan HMI
mencakup berbagai latar belakang etnis, kultur dan pandangan keagamaan dengan
jumlah anggota di berbagai perguruan tinggi yang banyak tersebar di seluruh
tanah air. Tujuan HMI ialah mengembangkan potensi intelektualitas, kreativitas
dan idealitas para mahasiswa muslim sehingga pada diri mereka terbentuk
integritas moral dan kepribadian Islami. HMI berperan pula sebagai organisasi
kemahasiswaan yang ikut menempa dan mencetak kepemimpinan nasional.
Sepanjang
eksistensi sejarahnya, HMI sudah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, baik
sebagai intelektual, politisi, pengusaha, ataupun sebagai tokoh masyarakat
lainnya. HMS Mintareja, Dahlan Ranuwiharjo, Mar’ie Muhammad, Abdul Gafur, dan
Akbar Tanjung ialah sederet nama dari sekian banyak tokoh politisi yang
dilahirkan oleh HMI. Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdul Rahim, Saifudin
Anshari, Fachri Aly, dan Azyumardi Azra tercatat sebagai tokoh-tokoh
intelektual yang pernah berkecimpung dalam HMI ketika mereka masih menjadi
mahasiswa.[19] Nah,
mereka inilah para cendikiawan muslim yang lahir dari HMI dan tampil sebagai
tokoh-tokoh panutan di tengah-tengah masyarakat serta memberikan kontribusi
untuk negeri ini dalam berbagai bidang, seperti politik, intelektual, kultural,
bisnis, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Sekarang,
kitalah para kaum muda yang harus meneruskan dan melanjutkan jejak mereka,
terlebih-lebih kita juga sebagai kader-kader muda Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI). Mari kita menempah diri agar layak dikatakan sebagai muslim sejati yang
mampu membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil
‘alamin. Sehingga dengan demikian, kita layak disebut sebagai khalifah
fil ardh.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Khalifah: orang yang menggantikan atau yang menggantikan kedudukan seseorang.
Disebut khalifah sebab dia menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan
melaksanakan perintah-perintah-Nya.Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan
yang bersumber dari Allah Swt., yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang
dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau
potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama
untuk mengelola bumi ini.Sebagai khalifah, manusia berkewajiban memelihara,
melestarikan dan memakmurkan bumi. Artinya, manusia wajib mengolah dan
merekayasa bumi untuk bermanfaat bagi kemaslahatan manusia dan makhluk-makhluk
alam lainnya. Manusia juga wajib memelihara keseimbangan ekosistem lingkungan
dan alam.Harus disadari bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah atau penguasa
di muka bumi adalah pemberian dari Allah Swt. bukan karena manusia itu sendiri.
Karena itu, manusia dalam melaksanakan tugas ke-khalifah-annya di muka bumi
tidak boleh melebihi ketentuan Allah Swt. Pelaksanaan tugas khalifah tersebut
harus berorientasi pada upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Allah dan
mempersaksikan sifat-sifat Allah.Aplikasi tauhid dalam kehidupan sebagai
khalifah Allah di bumi antara lain adalah: 1. Berilmu, 2. Gigih, 3. Kreatif, 4.
Produktif, 5. Inovatif. Setiap kita khususnya umat Islam harus menjadi contoh
di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Bawalah nilai-nilai Islam yang
tinggi, yang paling mulia ke dalam kehidupan bermasyarakat. Buktikan bahwa
dirimu memang layak diamanahkan oleh Allah Swt. sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah
fil ardh). Buktikan bahwa agama Islam itu memang benar-benar agama yang rahmatan
lil ‘alamin. Terlebih lagi bagi kita para generasi muda, khususnya para
mahasiswa yang disebut-sebut sebagai Agent Of Change (agen perubahan).Mahasiswa
Islam sebagai generasi uda yang sadar akan hak dan kewajibannya serta peran dan
tanggung jawab kepada umat manusia, umat muslim dan Bangsa Indonesia bertekad
memberikan dharma bhaktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman demi terwujudnya
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah subhanahu
wata’ala.[20]
DAFTAR PUSTAKA
[1]Hadis Purba & Salamuddin, Theologi Islam,
(Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 44.
[2]Ibid.,hlm. 145.
[3]Ibid.,hlm. 146.
[4]Ibid.,hlm. 146.
[5]Ibid.,hlm. 156.
[6]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 149.
[7]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 171-173.
[8]Ibid.,hlm.
181.
[9]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2011), hlm. 63.
[10]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 183.
[11]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Al-Kautsar,
2011), hlm. 66-67.
[12]Hadis Purba, Salamuddi, Teologi
Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 157-158.
[13]Faisal Ismail, Islam yang
Produktif, (Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm. 17.
[14]Shoni Rahmatullah Amrozi, How To
Be A Great Leader, (Yogyakarta: Safirah, 2016), hlm. 66-67
[15]Faisal Ismail, Islam yang Produktif,
(Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm.16.
[16]Ibid., 248.
[17]Hamka, Pribadi Hebat,
(Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 93.
[18]Sayyid Ahmad Reza, Mengundang
Cinta-Nya, Menghalau Murka-Nya, (Yogyakarta: Sabil, 2015), hlm. 63.
[19]Faisal Ismail, Islam yang
Produktif, (Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm. 349.
[20]Pengurus Besar HMI, Hasil-hasil Kongres HMI Ke XXVIII, (Jakarta: HMI, 2013), hlm. 69.

Terimakasih Kanda,, Makalahnya mudah kami fahami,
BalasHapus