Sabtu, 07 April 2018

Esensi Ajaran Islam Tentang Khalifah Fil Ardh

Makalah
Diajukan Sebagai Syarat Mengikuti
Latihan Kader II HMI Cabang Medan Tahun 2018
  
 
Disusun Oleh:
Revindo Saragi
082180623235 / revindosaragi@gmail.com

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
CABANG MEDAN
1439 H / 2018 M



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik progratif Allah Swt, Tuhan seru  sekalian alam. Atas berkat rahmat dan hidayah Allah penulis dapat menyelesaikan makalah ini, sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Latihan Kader II HMI Cabang Medan Tahun 2018. Adapun tema atau judul dari makalah ini yaitu “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT”. Selanjutnya, shalawat dan salam bukti cinta yang tulus marilah sama-sama kita sampaikan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Semoga dengan memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau, di yaumil akhir kelak kita semua termasuk orang-orang yang berada di barisan terdepan yang akan mendapatkan syafa’at beliau, amin.
Kemudian, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, karena berkat doa dan dukungan merekalah penulis mampu duduk di bangku perkuliahan dan berstatus sebagai seorang mahasiswa serta berkecimpung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hingga saat ini. Dan saya juga mengucapkan terimakasih kepada para presidium HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum UIN-SU serta seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum UIN-SU yang telah turut serta mendukung dan membantu saya dalam pembuatan makalah LK II ini. Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya, untuk menambah wawasan ke-Islaman kita.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Medan, 12 Februari 2018

        Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... .... ii        
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................. .... 1      
       A.    Latar Belakang................................................................................................. 1
   B.    Rumusan Masalah...................................................................................... .... 2
   C.   Tujuan Masalah................................................................................................ 3
BAB II
PEMBAHASAN......................................................................................................... 4
            A.     Pengertian Khalifah Fil Ardh........................................................................... 4
            B.     Esensi Ajara Islam tentang Khalifah Fil Ardh................................................. 9
            C.     Konsep Khalifah Fil Ardh dalam Konteks Sosial Masyarakat...................... 10
BAB III
PENUTUP................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 17














BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Kurang lebih sekitar 3 tahun Rasulullah Muhammad Saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi di kota Makkah. Yang beliau dakwahkan masih hanya seputar tauhid, pengenalan terhadap sang khaliq. Maka, apabila kita seorang muslim sejati, yang pertama kita yakini ialah esensi Allah Swt. sebagai pencipta alam semesta. Meyakini dengan sepenuh hati tanpa keraguan sedikit pun, bahwa adanya alam semesta ini bukan karena kebetulan belaka melainkan ada yang menciptakan, yaitu Allah Swt. Inilah nilai-nilai tauhid yang paling mendasar yang harus kita pahami. Jadi, adanya alam semesta beserta segala yang ada di dalamnya adalah mutlak bergantung pada adanya Dia (Allah). Inilah yang dimaksud dengan firman-Nya surat al-ihklas ayat 2.[1]
Selain penciptaan alam semesta, Allah Swt. juga menciptakan makhluk, dan salah satu makhluk ciptaan Allah ialah manusia. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna serta memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Allah dibandingkan makhluk-makhluk lainnya. Penciptaan manusia itu sendiri bukanlah suatu hal yang sia-sia belaka dan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia dengan segala kelebihan dan kesempurnaannya, karena Allah telah memilih manusia sebagai penerima dan pemegang amanah dari Allah (Surat Al-Ahzab: 72).[2]

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzhalim dan amat bodoh.”

Salah satu amanat yang diamanahkan Allah kepada manusia ialah bahwasanya Allah memposisikan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi). Hal ini telah Allah terangkan kepada kita lewat firmannya dalam Q.S. Al-Baqarah: 30:
Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Manusia adalah makhluk tertinggi yang pernah diciptakan Allah (Agus Mustofa, 2005; 64), memiliki sifat-sifat ketuhanan dan mejadi khalifah Allah di muka bumi. Karena itu menjadi tugas manusia untuk mempersaksikan sifat dan asma Allah di muka bumi dan berakhlak dengan akhlak yang diperintahkan Allah dalam menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di muka bumi, membawa kebenaran dari Allah, menjadi cermin dari sifat-sifat Allah dan asma-Nya, berakhlak dengan akhlak yang diperintahkan-Nya atau menjadi makhluk Rabbani. Inilah yang dimaksud oleh Allah dalam memilih manusia sebagai makhluk tertinggi sekaligus menjadi khalifah di muka bumi seperti terdapaat dalam surat Thaha ayat: 41.[3]
Nah, berdasarkan latar belakang yang penulis jelaskan diatas, maka penulis mengangkat judul: “ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KHALIFAH FIL ARDH DALAM KONTEKS SOSIAL MASYARAKAT” sebagai tema pembahasan dalam makalah ini.

B.   Rumusan Masalah

Sesuai dengan Judul Makalah “Esensi Ajaran Islam tentang Khalifah Fil Ardh dalam Konteks Sosial Masyarakat”, maka penulis dapat mengambil beberapa rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalaah ini, antara lain:
a. Apa yang dimaksud dengan istilah khalifah fil ardh?
b. Bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh?
c. Bagaimana konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat?

C.   Tujuan Penulisan
Adapun tujuan makalah ini disusun sebagai berikut:
1. Agar kita mengetahui dan memahami istilah khilafah fil ardh  dalam ajaran Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana esensi ajaran Islam tentang khalifah fil ardh.
3. Untuk mengetahui konsep khalifah fil ardh dalam konteks sosial masyarakat.
4. Untuk memenuhi tugas makalah peserta Intermediate Training HMI




BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Khalifah Fil Ardh
Sekalipun kejadinnya lebih sempurna dari yang lain, manusia adalah makhluk Allah, sama seperti makhluk-makhluk lainnya. Karena itu, sebagai hamba Allah manusia dituntut untuk menjadikan seluruh aktifitas hidupnya sebagai upaya pengabdian diri kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat 56:[4]
Artinya: “Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.
Selain sebagai abdi Allah, manusia di ciptakan Tuhan adalah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Seperti yang di jelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 30:[5]
Artinya:”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Kelompok ayat ini dimulai dengan penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia; ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat “Seseungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di dunia” demikian penyampaian Allah Swt. Penyampaian ini bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, di mana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasar asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensyucikan Allah Swt. Pertanyaan mereka itu juga bisa lahir dari penamaan Allah terhadap makhluk yang akan dicipta itu dengan khalifah. Kata ini mengesankan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah. Bisa jadi demikian dugaan malaikat sehingga muncul pertanyaan mereka.
Semua itu adalah dugaan, namun apa pun latar belakangnya, yang pasti adalah mereka bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencana-Nya.
Apakah, bukan “mengapa”, seperti dalam beberapa terjemahan, “Engkau akan menjadikan khalifah di bumi siapa yang akan merusak dan menumpahkan darah?” Bisa saja bukan Adam yang mereka maksud merusak dan menumpahkan darah, tetapi anak cucunya.
Rupanya mereka menduga bahwa dunia hanya dibangun dengan tasbih dan tahmid, karena itu para malaikat melanjutkan pertanyaan mereka, Sedang kami menyucikan, yakni menjauhkan Zat, Sifat dan perbuatan-Mu dari segala yang tidak wajar bagi-Mu, sambil memuji-Mu atas segala nikmat yang Engkau anugerahkan kepada kami, termasuk mengilhami kami menyucikan dan memuji-Mu.
Anda perhatikan mereka menyucikan terlebih dahulu, baru memuji. Penyucian mereka itu mencakup penyucian pujian yang mereka ucapkan, jangan sampai pujian tersebut tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Menggabungkan pujian dan penyucian dengan mendahulukan penyucian, ditemukan banyak sekali dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Selanjutnya, para malaikat itu menunjuk diri mereka dengan berkata, dan kami juga menyucikan, yakni membersihkan diri kami sesuai kemampuan yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan itu kami lakukan demi untuk-Mu.
Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan karena memang akan ada diantara yang diciptakan-Nya itu yang berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
Perlu dicatat bahwa kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tetapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya penghormatan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni bumi ini.
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khalifah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam Negara Islam.[6]
Betapapun, ayat ini menunjukan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah Swt, makhluk yang diserahi tugas, yakni Adam As. dan anak cucunya, serta wilayah tempat bertugas, yakni bumi yang terhampar ini.
Jika demikian, kekhalifahan mengharuskan makhluk yang diserahi tugas itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan petunjuk Allah yang memberinya tugas dan wewenang. Kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas kekhalifahan.
Dalam ayat ini disebut tentang malaikat. Apakah malaikat?
Dalam bahasa Arab kata mala'ikah adalah bentuk jamak dari kata malak. Ada yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata alaka atau ma’lakah yang berarti mengutus atau perutusan/risalah. Malaikat adalah utusan-utusan Tuhan untuk berbagai tugas. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti menyampaikan sesuatu. Malak/malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah swt.
Banyak ulama berpendapat bahwa malaikat dari segi pengertiannya dalam bahasa agama adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dengan aneka bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikitpun tidak membangkang. Allah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberi mereka kemampuan berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.[7]
Malaikat diciptakan oleh Allah Swt. dengan berbagai kelebihan dan sudah pasti terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah, karena memang mereka diciptakan dengan ketaatan dan senantiasa bertasbih dan mensyucikan Allah Swt. Tetapi, meskipun demikian bukan berarti malaikat terpilih atau dipilih oleh Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Kelebihan yang Allah berikan kepada malaikat tidak menjadi alasan mereka layak untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Walaupun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci dan tidak mengenal dosa, mereka tidak wajar menjadi khalifah karena yang bertugas menyangkut sesuatu haruslah yang memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi Adam as. mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka, terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.[8]
Al-Khalifah: orang yang menggantikan atau yang menggantikan kedudukan seseorang. Disebut khalifah sebab dia menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.[9]
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah Swt., yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, tugas kekhalifahan manusia akan gagal walaupun seandainya dia tekun rukuk, sujud, dan beribadah kepada Allah Swt. serupa dengan rukuk, sujud, dan ketaatan malaikat. Bukankah malaikat yang sedemikian taat dinilai tak mampu mengelola bumi ini, bukan karena kurangnya ibadah mereka, tetapi karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang alam dan fenomenanya? Melalui kisah ini, Allah Swt. bermaksud menegaskan bahwa bumi tidak dikelola semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi dengan amal ilmiah dan ilmu amaliyah.[10]
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran penting, diantaranya sebagai berikut:
1.    Sebagian ulama berkata bahwa pada pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang penciptaan Adam dan pengangkatannya sebagai khalifah di bumi, terdapat pendidikan untuk segenap hamba-Nya bagaimana bermusyawarah dalam berbagai masalah sebelum melaksanakannya.
2.    Hikmah dijadikannya Adam sebagai khalifah di bumi adalah menjadi rahmat bagi seluruh hamba-Nya –bukan untuk merendahkan Allah, sebab manusia tidak akan mampu menyampaikan perintah dan larangan dari Allah tanpa ada perantara, tidak juga dengan perantara malaikat. Oleh karena itu, diantara rahmat, anugerah, dan kebaikan Allah adalah diutusnya para rasul dari golongan manusia.
3.    Al-Hafidz Ibnu Katsir menyatakan bahwa perkataan malaikat, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya”, bukanlah untuk membantah Allah, atau juga karena iri kepada Adam, namun lebih kepada pertanyaan pemberitahuan dan eksplorasi hikmah tentang hal itu. Mereka seakan-akan berkata “Apa hikmah diciptakannya manusia, padahal sebagian mereka membuat kerusakan di bumi?”. Ibnu Jazzi berkata, “Malaikat tahu bahwa anak cucu Adam membuat kerusakan di bumi, lalu diberitahukan kepada Allah mengenai keadaan mereka. Dikatakan, dulu di bumi ada jin yang membuat kerusakan, lalu Allah mengutus malaikat, lalu malaikat membunuh mereka, kemudian malaikat menimbang antara manusia dengan golongan jin itu”.[11]

B.   Esensi Ajaran Islam Tentang Khalifah Fil Ardh
Sebagai khalifah, manusia berkewajiban memelihara, melestarikan dan memakmurkan bumi. Artinya, manusia wajib mengola dan merekayasa bumi untuk bermanfaat bagi kemaslahatan manusia dan makhluk-makhluk alam lainnya. Manusia juga wajib memelihara keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam.
Seiring dengan fungsi dan tugas tersebut, Allah Swt. memberikan sebagian dari sifat-sifat-Nya kepada manusia untuk menjadi modal dan kelengkapan dalam melaksanakan tugasnya di bumi. Adapun sifat-sifat yang diberikan itu adalah: 1) Hayat (kehidupan), 2) Ilmu (ilmu pengetahuan), 3) Qudrat (kekuasaan/kemampuan), 4) Iradat (kehendak/kemauan), 5) Sama’ (pendengaran), 6) Bashar (penglihatan), dan 7) kalam (berbicara).
Dengan demikian bentuk aplikasi tauhid dalam kehidupan sebagai khalifah Allah di bumi antara lain adalah:
1.    Berilmu, yakni membekali diri dengan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai syarat untuk dapat mengelola alam dengan baik, sebab Allah Swt. menciptakan alam ini didasari dengan Ilmu-Nya.
2.    Gigih, yakni memiliki kehendak dan kemauan yang kuat untuk mengelola alam, sebab Allah Swt. menciptakan alam semesta ini didasari oleh Iradah atau kehendak-Nya.
3.    Kreatif, yakni mengisi perjalanan hidupnya dengan kreatif (karya), sebab adanya alam ini merupakan wujud dari karya yang kreatif dari Allah.
4.    Produktif, yakni karya (kreatifitas) itu harus mendatangkan hasil yang besar, dan dapat memberikan manfaat bagi makhluk sekitar.
5.    Inovatif, yakni berusaha menemukan cara dan metode yang baru dalam melakukan pekerjaan mengelola alam ini.
Harus disadari bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah atau penguasa di muka bumi adalah pemberian dari Allah Swt. bukan karena manusia itu sendiri. Karena itu, manusia dalam melaksanakan tugas ke-khalifah-annya di muka bumi tidak boleh melebihi ketentuan Allah Swt. Pelaksanaan tugas khalifah tersebut harus berorientasi pada upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Allah dan mempersaksikan sifat-sifat Allah.
Dalam mengaplikasikan tauhid sebagai khalifah, Allah Swt. memberikan tuntunan/pedoman berupa petunjuk tehnis pelaksanaan kepada manusia, yaitu ajaran agama (wahyu Allah) yang dibawa oleh malaikat dan disampaikan kepada rasul-rasul. Pedoman tersebut terdapat dalam kitab-kitab Allah.
Hal ini berarti bahwa manusia dalam menjalankan aktivitas hidupnya di muka bumi, tidak boleh menurut kehendak sendiri tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt. artinya harus mematuhi petunjuk-Nya.
Selanjutnya komitmen dan kepatuhan manusia dalam melaksanakan fungsi dan tugas-tugasnya tersebut, maka Allah Swt. berjanji akan meminta pertanggungjawaban manusia di hari akhirat, untuk selanjutnya memberikan balasan berupa surga terhadap yang patuh dan balasan neraka bagi yang tidak mematuhinya.
Maka dalam rangka memelihara konsistensi pengamalan tauhid di atas, manusia dituntut untuk senantiasa menyadari dan mengingat bahwa kehidupan di dunia hanya bersifat sementara. Manusia akan mengalami mati dan apabila ajal kematian telah datang manusia tidak dapat menundanya walau sedetik pun.[12]

C.   Konsep Khalifah Fil Ardh dalam Konteks Sosial Masyarakat
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas, bahwasanya manusia merupakan makhluk yang paling sempurna daripada makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia diberikan akal pikiran yang fungsinya untuk membimbing, mengarahkan, serta menuntun ia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, dan lain sebagainya. Tidak cukup hanya akal, Allah Swt. juga memberikan petunjuk atau pedoman dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, yang disampaikan melalui para rasul-rasul utusan-Nya, agar hidup yang ia jalani sejalan dengan syariat Allah, sejalan dengan tujuan Allah menciptakan manusia itu sendiri. Karena apabila manusia hanya menggunakan akalnya dalam setiap tindakan yang ia lakukan tanpa mengikuti tuntunan wahyu Ilahi, tanpa mengikuti petunjuk atau pedoman yang Allah tetapkan, dikhawatirkan manusia itu akan salah menempuh jalan dan akhirnya lari atau tidak sejalan dengan tujuan manusia itu diciptakan.
Nah, salah satu petunjuk atau pedoman hidup yang diturunkan Allah kepada manusia yaitu al-Qur’an dan hadits, yang disampaikan melalui Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan khotamul anbiya serta membawa agama yang paling tinggi di sisi Allah Swt., yakin agama islam.
Islam merupakan agama dakwah. Ini berarti bahwa Islam, menurut watak dan kodratnya, mesti berkembang. Diutusnya Nabi Muhammad Saw. Sebagai utusan Allah Swt. memberikan konfirmasi teologis bahwa beliau diperintah oleh Allah Swt. untuk mendakwahkan dan menyebarkan Islam. Misi tersebut telah dilaksanakan dan diselesaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan hasil yang sangat spektakuler. Mayoritas orang Quraisy di Jazirah Arabia yang sebelumnya menganut kepercayaan politeistis dalam waktu 23 tahun telah diubah oleh Nabi Muhammad Saw. Menjadi masyarakat yang monoteis (tauhid).[13] Rasulullah Saw. merupakan revolusioner agung yang mengubah peradaban jahiliyah saat itu. Beliau seorang Rasul yang membawa tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik. Hal ini terlihat pada kondisi masyarakat Arab sebelum dan setelah datangnya agama Islam.
Sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul, keadaan moral penduduk Makkah sangat buruk. Umumnya mereka senang terhadap perjudian, perzinaan, merampas harta, sering terjadi pembunuhan, serta penindasan kepada kaum lemah. Berbeda dengan kondisi tersebut, semenjak Rasulullah Saw. menjadi Nabi dan Rasul, tatanan kehidupan masyarakat Makkah dan Jazirah Arab semakin membaik dan terjadi pemerataan ekonomi dan sosial. Sebab, Rasulullah Saw. senantiasa mengajarkan bahwa semua umat muslim adalah bersaudara yang saling melengkapi. Dan, yang membedakan seseorang di sisi Allah Swt. hanyalah tingkat ketakwaannya.[14]
Namun walaupun demikian, karena Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yakni agama yang menjadi rahmat seluruh alam, tentu tidak cukup hanya berkembang di Jazirah Arab saja, melainkan ajaran Islam harus mendunia. Oleh karena itu, Rasulullah berusaha menyebarluaskan ajaran Islam, membumikan ajaran Islam ke berbagai penjuru dunia melalui para sahabat yang beliau utus. Akan tetapi, mendakwahkan Islam bukan hanya kewajiban Rasulullah dan para sahabat semata, melainkan kewajiban bagi seluruh ummatnya hingga akhir zaman. Sebab itulah, dakwah menjadi suatu kewajiban bagi kita umat muslim di seluruh dunia, dan terlebih-lebih kita sebagai generasi muda umat Islam.
Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa aktivitas dan gerakan dakwah dalam segala cara, bentuk, dan banyak manifestasinya merupakan tulang punggung kelangsungan hidup agama Islam. Tanpa adanya aktivitas dan gerakan dakwah, agama Islam sudah barang tentu sulit atau bahkan tidak bisa berkembang. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad Saw. Menekankan, “Sampaikanlah apa saja yang berasal dariku walaupun satu ayat sekalipun.” (HR. Bukhari).
Ini berarti bahwa dakwah merupakan tugas penting atau suatu kewajiban fundamental yang mesti dilaksanakan oleh setiap muslim dan muslimah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam masyarakat modern yang memiliki bangunan struktur sosial yang lebih kompleks, pola dan gerakan dakwah memerlukan organisasi yang menerapkan prinsip-prinsip management yang modern, seperti penyusunan program, kebijakan dan strategi dakwah, pelaksanaan program, serta evaluasi terhadap pelaksanaan program dakwah tersebut.[15] Lalu, apa yang harus kita dakwahkan? Yang harus kita dakwahkan di tengah-tengah masyarakat yang kompleks adalah seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw.
Nah, dalam kehidupan sosial masyarakat kita sebagai umat Islam, yakni umatnya Rasulullah Saw. yang setiap kita memiliki tanggung jawab untuk membumikan atau menyebarluaskan ajaran Islam, ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, kita harus menanamkan nilai-nilai Islam dalam segala aspek sosial masyarakat. Bagaimana caranya? Tentu dengan mendakwahkan ajaran Islam itu sendiri ke seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat. Baik itu dakwah dengan lisan, dakwah dengan sikap, dakwah dengan perbuatan dan lain sebagainya. Kita khususnya generasi muda, harus bisa berbaur, tampil ditengah-tengah masyarakat sebagai contoh. Tunjukkan kepada mereka bahwa inilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu. Tunjukkan kepada mereka nilai-nilai ajaran Islam yang sangat agung.
Agama akan bermakna bagi hidup dan kehidupan manusia jika seluruh perangkat doktrin dan ajaran-ajarannya disosialisasikan, dimasyarakatkan dan difungsikan. Selama ajaran-ajaran agama hanya berada dalam lembaran-lembaran kitab suci, selama ajaran-ajaran agama hanya berada dalam dinding-dinding rumah peribadahan, selama ajaran-ajaran agama hanya berada dalam lingkungan bangku-bangku kuliah, selama itu pula ajaran-ajaran agama kosong, abstrak, hampa, steriil dan terisolasi dalam kehidupan nyata masyarakat.
Oleh karena itu, ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari lembaran-lembaran kitab suci, ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari dinding-dinding rumah peribadahan, ajaran-ajaran agama harus dibawa keluar dari tembok-tembok perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, untuk dimasyarakatkan, disosialisasikan dan di fungsikan secara maksimal dan optimal. Dengan begitu, arti dan makna serta fungsi agama akan terasa keterlibatannya secara nyata dengan riak kehidupan masyarakat luas untuk dapat dijadikan program kerja yang strategis-inovatif dalam menyelesaikan berbagai kompleksitas masalah-masalah kemasyarakatan.
Lebih-lebih pada era pembangunan dan usaha-usaha akselerasi modernisasi seperti sekarang ini, agama hendaknya diperankan secara maksimal dan optimal untuk menopang suksesnya pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Agama mesti difungsikan secara optimal bagi pembinaan moral dan penguatan sendi-sendi mental-spiritual-keagamaan manusia. Agama harus difungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi peningkatan pembangunan ekonomi, social, budaya, perdaban dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Agama semestinya difungsikan secara riil bagi pengembangan ilmu dan teknologi.[16] Nah, ini sungguh merupakan tugas dan tanggung jawab kita sabagai khalifah fil ardh, sebagai umat Islam, sebagai umat yang paling mulia (khaira ummatin). Maka, sudah sepantasnya kita membumikan ajaran agama Islam, ajaran yang paling tinggi, ajaran yang rahmatan lil ‘alamin dalam konteks social masyarakat.
Memang tidak akan semudah membalikkan telapak tangan untuk dapat mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin. Tidak mudah untuk menjadi khalifah fil ardh yang sesungguhnya, yang sesuai dengan tuntutan syariat. Untuk itu, perlu dikuatkan sandaran kepada Allah Swt., kuatkan iman dan ketakwaan kepada sang Ilahi.
Mempunyai iman dan agama berpengaruh besar terhadap pembentukan pribadi. Sebanyak apapun ilmu dan kepintaran, walaupun banyak buku dalam lemari dan dibaca setiap hari, tidaklah akan mendorong cipta dan tidaklah akan berani menghadapi kewajiban jika iman tidak ada. Iman adalah pokok, kepercayaan kepada Zat Yang Maha Kuasa.[17] Selain itu, tetaplah berikhtiar semampu kita. Berusaha menjadi seorang muslim sejati. Membuktikan bahwa Islam memang benar-benar rahmatan lil ‘alamin. Membuktikan bahwa diri ini pantas dijadikan Allah Swt. sebagai khalifah di muka bumi.
Ikhtiar merupakan perintah Allah Swt. yang harus dilakukan oleh seluruh manusia. Selain bernilai ibadah di hadapan-Nya, ikhtiar juga menjadi sikap yang kita butuhkan dalam menjalani kehidupan ini. Selain ikhtiar, sabar, ikhlas dan tawakal juga kita butuhkan dan menjadi komponen yang tidak terpisahkan. Sebab, saat berikhtiar, kita membutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan usaha. Setelah ikhtiar dilaksanakan, barulah kita menyerahkan hasilnya kepada-Nya.[18]
Jadi, setiap kita khususnya umat Islam harus menjadi contoh di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Bawalah nilai-nilai Islam yang tinggi, yang paling mulia ke dalam kehidupan bermasyarakat. Buktikan bahwa dirimu memang layak diamanahkan oleh Allah Swt. sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh). Buktikan bahwa agama Islam itu memang benar-benar agama yang rahmatan lil ‘alamin. Terlebih lagi bagi kita para generasi muda, khususnya para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai Agent Of Change (agen perubahan). Terlebih lagi kita sebagai kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Kita harus tahu betul apa tujuan awal didirikannya organisasi ini, sehingga kita tahu apa yang harus kita perbuat selaku kader-kader HMI.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawannya di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947. HMI dikenal sebagai organisasi mahasiswa muslim yang independen dan tidak berafiliasi dengan organisasi politik atau organisasi sosial keagamaan mana pun. Komposisi keanggotaan HMI mencakup berbagai latar belakang etnis, kultur dan pandangan keagamaan dengan jumlah anggota di berbagai perguruan tinggi yang banyak tersebar di seluruh tanah air. Tujuan HMI ialah mengembangkan potensi intelektualitas, kreativitas dan idealitas para mahasiswa muslim sehingga pada diri mereka terbentuk integritas moral dan kepribadian Islami. HMI berperan pula sebagai organisasi kemahasiswaan yang ikut menempa dan mencetak kepemimpinan nasional.
Sepanjang eksistensi sejarahnya, HMI sudah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, baik sebagai intelektual, politisi, pengusaha, ataupun sebagai tokoh masyarakat lainnya. HMS Mintareja, Dahlan Ranuwiharjo, Mar’ie Muhammad, Abdul Gafur, dan Akbar Tanjung ialah sederet nama dari sekian banyak tokoh politisi yang dilahirkan oleh HMI. Nurcholish Madjid, Imaduddin Abdul Rahim, Saifudin Anshari, Fachri Aly, dan Azyumardi Azra tercatat sebagai tokoh-tokoh intelektual yang pernah berkecimpung dalam HMI ketika mereka masih menjadi mahasiswa.[19] Nah, mereka inilah para cendikiawan muslim yang lahir dari HMI dan tampil sebagai tokoh-tokoh panutan di tengah-tengah masyarakat serta memberikan kontribusi untuk negeri ini dalam berbagai bidang, seperti politik, intelektual, kultural, bisnis, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Sekarang, kitalah para kaum muda yang harus meneruskan dan melanjutkan jejak mereka, terlebih-lebih kita juga sebagai kader-kader muda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mari kita menempah diri agar layak dikatakan sebagai muslim sejati yang mampu membuktikan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Sehingga dengan demikian, kita layak disebut sebagai khalifah fil ardh.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Khalifah: orang yang menggantikan atau yang menggantikan kedudukan seseorang. Disebut khalifah sebab dia menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya.Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah Swt., yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian, pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengelola bumi ini.Sebagai khalifah, manusia berkewajiban memelihara, melestarikan dan memakmurkan bumi. Artinya, manusia wajib mengolah dan merekayasa bumi untuk bermanfaat bagi kemaslahatan manusia dan makhluk-makhluk alam lainnya. Manusia juga wajib memelihara keseimbangan ekosistem lingkungan dan alam.Harus disadari bahwa kedudukan manusia sebagai khalifah atau penguasa di muka bumi adalah pemberian dari Allah Swt. bukan karena manusia itu sendiri. Karena itu, manusia dalam melaksanakan tugas ke-khalifah-annya di muka bumi tidak boleh melebihi ketentuan Allah Swt. Pelaksanaan tugas khalifah tersebut harus berorientasi pada upaya penghambaan diri (ibadah) kepada Allah dan mempersaksikan sifat-sifat Allah.Aplikasi tauhid dalam kehidupan sebagai khalifah Allah di bumi antara lain adalah: 1. Berilmu, 2. Gigih, 3. Kreatif, 4. Produktif, 5. Inovatif. Setiap kita khususnya umat Islam harus menjadi contoh di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Bawalah nilai-nilai Islam yang tinggi, yang paling mulia ke dalam kehidupan bermasyarakat. Buktikan bahwa dirimu memang layak diamanahkan oleh Allah Swt. sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil ardh). Buktikan bahwa agama Islam itu memang benar-benar agama yang rahmatan lil ‘alamin. Terlebih lagi bagi kita para generasi muda, khususnya para mahasiswa yang disebut-sebut sebagai Agent Of Change (agen perubahan).Mahasiswa Islam sebagai generasi uda yang sadar akan hak dan kewajibannya serta peran dan tanggung jawab kepada umat manusia, umat muslim dan Bangsa Indonesia bertekad memberikan dharma bhaktinya untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah subhanahu wata’ala.[20]


DAFTAR PUSTAKA



[1]Hadis Purba & Salamuddin, Theologi Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 44.
[2]Ibid.,hlm. 145.
[3]Ibid.,hlm. 146.
[4]Ibid.,hlm. 146.
[5]Ibid.,hlm. 156.
[6]Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 149.
[7]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 171-173.
[8]Ibid.,hlm. 181.
[9]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011), hlm. 63.
[10]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 183.
[11]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Al-Kautsar, 2011), hlm. 66-67.
[12]Hadis Purba, Salamuddi, Teologi Islam, (Medan: Perdana Publishing, 2016), hlm. 157-158.
[13]Faisal Ismail, Islam yang Produktif, (Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm. 17.
[14]Shoni Rahmatullah Amrozi, How To Be A Great Leader, (Yogyakarta: Safirah, 2016), hlm. 66-67
[15]Faisal Ismail, Islam yang Produktif, (Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm.16.
[16]Ibid., 248.
[17]Hamka, Pribadi Hebat, (Jakarta: Gema Insani, 2014), hlm. 93.
[18]Sayyid Ahmad Reza, Mengundang Cinta-Nya, Menghalau Murka-Nya, (Yogyakarta: Sabil, 2015), hlm. 63.
[19]Faisal Ismail, Islam yang Produktif, (Yogyakarta: Ircisod, 2017), hlm. 349.
[20]Pengurus Besar HMI, Hasil-hasil Kongres HMI Ke XXVIII, (Jakarta: HMI, 2013), hlm. 69.

1 komentar: